Alasan merindu

 Aku menemukan dirimu dalam kekosongan diriku. Berupa gombalan-gombalan ringan yang menyenangkan. Berhamburan dalam rasa yang tak karuan. Aku tau itu tak nyata adanya. Kedatanganmu yang tiba-tiba dengan alur yang bisa kubaca. Yang kulihat ada pada tiap manusia yang penasaran akan sesuatu hal; tentangku. Yang seolah tertutup di suatu masa, dan kini aku tak ada di sana— di masa itu. 

Kecewa mungkin. Tak percaya apalagi. Tak tertarik lagi dengan tingkahku yang ambigu. Bahkan aku yang selalu mengulur waktu. Mempermainkan kode yang sebenarnya aku tak mengerti apa maksudnya. Aku tak percaya pada diriku sendiri yang belum pernah menemui ini. Menemui kisah di mana ada aku dan kau yang saling tarik menarik, kata seseorang. Kami adalah aku dan kau yang tertunda ada, atau takkan pernah ada. Hanya saling bergurau sebab waktu yang semakin membosankan. Sedang dipusingkan dengan kehidupan yang sudah pahit dirasakan. Tanpa kata saling menguatkan, hanya gurauan. Sebentar. 

Ada keinginan lebih yang sejenak nimbrung dalam pikiran "aku ingin lebih lama lagi". Karena itu terlalu singkat untukku. Lagi-lagi aku dibawa lagi tanpa sepengetahuanmu. Dan aku tak bisa kembali bersamamu. Hanya sendiri tanpa hadirmu kembali. Tiba-tiba ada, tiba-tiba pergi. Mungkin ada seseorang di sana, dalam benakmu. Tapi, bukan aku. Takkan pernah. Aku tak kesal— tak berhak untuk demikian. Aku doakan yang terbaik untukmu. Selalu. 

Pun juga tulisan ini dan semua. Berawal dari kau dan tak akan berakhir karena kau pula. Aku tak ingin memisahkan diriku dengan semua ini. Kau menjadi jembatan awal aku menemukan tenang, nyaman, dan impian. Tapi, aku masih takut bermimpi. Takut terjatuh. Takut gagal sebelum memulai. Apakah wajar? 

Aku berharap kau dan aku berjalan beriringan; saling menguatkan; saling mengandalkan; saling melengkapi. Pernah berharap tersemogakan, namun berakhir tanpa pernah dimulai. 

Salahkah bila aku berharap bertemu dengan seseorang yang menuntunku? Kata orang itu hanya akan mengurungku. Apa iya? Bahkan sendirian pun aku sekarang sudah merasa terkurung. Terkurung dalam anganku sendiri. Dalam ketidakmampuan melangkah. Ketakutan menelan ludah. Dan pikiran-pikiran yang rancu. Berakhir merindumu. Tertawa hanya lewat emotikon chat. Terketik "ahaha" tanpa benar-benar tertawa. Sungguh. Aku rindu itu. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Struktural Cerpen Harimau Belang Karya Guntur Alam

Bapak Lagi

Jalan Masing-Masing