Anggapan dianggap dan Tak dianggap

Aku tak pernah berani mengecap diriku sebagai seorang 'sahabat', pun belum pernah mendengar dianggap 'sahabat'. 
Masa pertama dan terakhirku dianggap atau tak dianggap ketika aku di bangku SMP. 
Masih tergambar begitu jelas perlakuan mereka yang dulu pernah memicingkan mata seolah tak suka. Hingga aku melarikan diri ke tempat yang dianggap 'tabu' yang bahkan bisa lebih menerimaku dari yang kukira. 
Hingga masa itupun berakhir dan aku dipertemukan dengan kebaikan yang luar biasa. Tak memandangku bagaimana dan seperti apa. Namun, rasanya perlakuan baik itu sebatas kata "sewajarnya". Mungkin orang jawa biasa menyebutnya "ampreh pantese". 
Pernah pula aku merasakan seperti dikhianati, tak dipercayai, bahkan tak dipedulikan. Hal itu sudah menjadi kebiasaan yang sejak kini pun masih pula terjadi dalam hidupku. 
Sebab terbiasa aku jadi tak merasakan kecewa berlebihan. Lebih memprioritaskan kelakuan diri sendiri yang lebih baik kepada orang lain. Meskipun tak dapat dipungkiri aku juga tetap manusia yang tak sempurna yang masih terlena. 
Mengurung diri sendiri dalam sebuah ruang rapat tak berjendela. Membuatku merasa lebih bebas dan leluasa. Ternyata tempat yang banyak orang takuti itu justru membuatku nyaman. Meski kadang aku merasakan bosan tapi tak apa. Setidaknya perasaan tidak pantas itu kuhukum sendiri. Dengan selalu merasa baik dalam ruang yang tak baik itu membuatku sadar bahwa aku terlalu menutup segala celah orang lain masuk. Mungkin trauma sejak terakhir kali aku merasa dianggap dan tak dianggap itu membuatku sesak. Seakan memandang orang lain istimewa pun tak berhak. 
Dan oleh sebab itu pun kepercayaanku pada orang lain jadi berkurang. Gampang negatif dan berlebihan. Kepercayaan itu perlu waktu. Perlu penerimaan dan kesabaran. Bukan karena merasa 'sok' tapi memang itu sulit untuk dimaafkan. Untuk dimaklumi. Sebatas sewajarnya pun itu jauh lebih membanggakan daripada terdiam di pojokan. 
Aku bukan malu tapi, sadar diri. Bukan pula tak mau, hanya membatasi diri. Karena hubungan yang tak saling memberi ruang serta peluang sulit dimaklumi. Dan aku berada di sana. Cukup sulit bagi yang tak menerima. Namun bagiku 'terserah'. Aku sudah menerima dan tak diterima balik bukanlah sebuah masalah. Itu hanya soal kecocokan. Paling tidak hubungan itu masih bisa diteruskan tanpa adanya 'saling'. Sewajarnya. Sepantasnya. Sebaiknya. 
Ini akan terlalu panjang jika diteruskan. 
Sekian. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Struktural Cerpen Harimau Belang Karya Guntur Alam

Bapak Lagi

Jalan Masing-Masing