Luka yang Membekas
Aku mengalami sedikit kejadian yang membekas di ingatan; kejadian paling menyakitkan dan kejadian paling menyenangkan. Bahkan tak jarang kekosongan mengisi tiap gerak dan gerik yang kulakukan maupun tidak.
Selama aku hidup, nyaliku hampir setiap saat ciut. Naik turun. Bahkan meyakini bahwa aku tak mampu melakukan banyak hal akan hidupku sendiri. Kegagalan yang seringkali kuabaikan ternyata jadi bumerang yang membahayakan.
Pikirku ia hanya akan menyakitiku selama ini. Dan kulupakan saja luka yang telah nampak membaik itu. Nyatanya dia menggerogotiku dari dalam, hampir membunuh jiwaku yang malang. Setengah darinya hampir hilang. Kulihat kekosongan itu datang menghadirkan kehampaan. Menyesakkan. Memilukan. Merampas harga diri dan kepercayaan diri. Meninggalkan aku sendiri dengan kebingungan, ketidakberdayaan, perasaan tak pantas, dan luka yang semakin mendalam.
Kubilang jangan hiraukan. Tapi ia nekat tak dengarkan omongan. Tak niat indahkan permohonan. Ia tetap pada pendiriannya; tak ada ampun bagimu. Ia berdiri membelakangiku. Tak peduli lagi air mata yang hampir kering menyisakan isak.
Kau tau apa yang kurang dari usahamu? Iya; doa. Lupakah kau akan Tuhan? Akan pemilik hidup serta kepemilikan akan dirimu?
Sungguh kasian. Memajang muka dengan banyak harapan tapi tanpa ketulusan dan kesungguhan. Kau sebenarnya tau bahwa kau kehilangan pegangan pun kepercayaan akan Sang Kuasa. Kau ingin hidup tenteram dan bahagia tapi lupa akan diri-Nya yang selalu ada. Segalanya mudah bila yang kau pikirkan tak hanya soal dunia.
Kata orang "mengejar dunia tak akan pernah ada habisnya". Lalu, kenapa kau masih kebingungan tentang hari esok akan makan apa. Akan jadi apakah kelak. Orang tua harus dibahagiakan dengan apa.
Hahhhh sudahlah, susah sekali membuatmu percaya. Susah sekali membuatmu menyerahkan segalanya pada Sang Kuasa.
Letak salahnya bukan pada takdir. Tapi, pada dirimu sendiri.
Ingat, hari ini bukan apa-apa untuk esok yang luar biasa.
—Hanya Aku—
Komentar
Posting Komentar