Midun
Midun. Aku bertemu dia di perempatan jalan selatan kampusku. Siang itu aku pergi bersama temanku ke sebuah warung untuk membelik makanan ringan sambil mengerjakan tugas yang belum selesai. Aku duduk di sebuah kursi panjang berhadapan dengan temanku, dengan segelas popice coklat di atas meja. Aku terdiam sambil menatap ke jalanan. Kutemui seorang lelaki pendek berkulit sawo matang sedang berdiri di tengah jalan, dengan sebuah tongkat berwarna orange di tangan. Memakai topi berwarna biru yang hampir pudar keabu-abuan. Tiap ada yang akan menyeberang ia ayunkan tongkat itu sambil meniup peluit yang tergantung di lehernya. Ia sigap melihat jalan, mengawal seorang anak kecil dari sebelah timur perempatan. Merangkulnya dengan lembut sembari menuntunnya berjalan. Bahkan, siang itu matahari begitu terik terasa. Tapi ia tak pernah memerlihatkan rasa lelah yang ia terima. Senyumnya itu, selalu ia berikan pada siapapun yang lewat. Kadang ada saja yang tak acuh padanya, tak memberinya sepeserpun ketika ia sebrangkan. Melemparkan koin-koin sembarangan. Menglakson kencang hingga membuatnya kaget dan terjatuh. Ia hiraukan semua itu. Ia balas dengan senyuman. Lagi dan lagi. Lantas mengucapkan terima kasih dengan tulus.
Azan zuhur sudah berkumandang. Ia bergegas ke masjid untuk bertemu Tuhan. Mengucap syukur atas rezeki yang diberikan hari itu. Membersihkan diri dan mengelap keringat yang nempel di badan. Membuka ransel dan mengenakan sarung. Ia sholat sendirian waktu itu. Ketinggalan di rokaat terakhir karena ia musti mandi dan membersihkan diri. Sendirian pun terlihat khusyuk dan khidmat.
Midun anak dari lelaki buruh panggul dan ibunya buruh cuci di kota. Tiap hari mereka berangkat bersama. Kadang bapaknya harus berangkat dulu pagi-pagi buta. Karena itu waktu yang tepat untuk mengais sedikit bahan untuk lauk sore harinya. Lagi pula, pagi-pagi lebih banyak barang yang musti dipanggul karena pedagang sayur sering berkumpul untuk memilih dagangan segar namun kesusahan membawanya sendiri.
Tiap pagi, ibunya selalu membawakan bekal seadanya. Sisa makan kemarin sore untuk dijadikan sarapan oleh bapaknya. Meskipun keluarganya serba pas-pasan, Midun selalu bersyukur dilahirkan dalam keluarga yang sederhana itu. Ibu dan bapaknya tak pernah memintanya menjadi sosok yang luar biasa, menjadi kebanggaan keluarga apalagi jadi tulang punggung satu-satunya. Midun bangga memiliki orang tua yang mengerti dirinya. Memahami kewaspadaannya pda dunia. Dan mengajarinya syukur sebanyak-banyaknya.
Kisah fiksi
Komentar
Posting Komentar