Kenalin, namaku Lena.
Lena Puspita Sari. Kata bapak nama itu dipilih sebab "ingin saja" katanya, ahaha aneh-aneh saja bapak. Memang, dia orang paling aneh dan nyeleneh yang pernah kukenal. Bapak sekaligus orang yang merangkap sebagai seorang sahabat untukku sejak ibu meninggal sejak aku masih TK. Waktu di mana seorang anak perempuan paling membutuhkan kasih sayang seorang ibu serta pelukan. Aku ingat pertama kali masuk TK waktu itu ibu masih sehat, beliau mengantarku ke sekolah sampai gerbang. Ketika aku sudah bertemu ibu guru sambil mengucapkan salam bersamaan dengan teman-temanku dengan gaya dan perilaku yang sudah biasa kami lakukan, yahhh tangan kami semua memegang tangan guru, bahkan sangking banyaknya murid kedua tangan guru penuh dengan genggaman murid-muridnya yang berdesakan bergantian mengucapkan salam. Kami mengucapkan salam dengan suara keras dan lantang serta berirama "Assalaamualaikum warahmatullaahi wa barakaatuh" andai saja waktu itu bisa kurekam, pasti saat ini aku sudah tertawa dan kangen masa-masa itu.
Oiya, setelah salam dengan bu guru, aku mencari di mana keberadaan ibuku waktu itu. Aku pikir dia akan menungguiku sampai pulang sekolah ternyata aku ditinggalkannya, dan ketika mataku tak menemukan keberadaannya, air mataku tiba-tiba saja berkeringat begitu deras. Kuusap kedua mataku dengan leganku yang membuat seragamku basah sebab keringat di mata yang begitu deras bercampur ingus yang keluar dari hidung.
Namun, beberapa saat kemudian aku menemukan ibu berjalan menuju ke arahku dari balik pagar sekolah. Langsung saja aku memeluknya begitu erat, aku belum pernah merasa setenang itu ketika bertemu ibu dan melihatnya di sana mengelus kepalaku dan mengusap mataku yang hampir bengkak sebab terlalu lama menangis.
Tapi, semenjak ibu tiada semuanya begitu berbeda. Tiap pagi aku selalu terlambat sekolah sebab bapak harus memberi makan ayam dan beberapa ekor dara di rumah, sehingga lupa untuk memberiku bekal serta sarapan pagi. Pernah sekali aku diberi bekal mie instan, lucu sih tapi kreatif. Pengin tau enggak gimana, jadi bapak menyeduh mie di plastik kemasannya itu dengan menambah air panas ke dalamnya, kemudian ditutup dengan karet gelang. Sesampainya di sekolah, sangking lamanya mie itu terendam air ya bengkak lah, airnya lama-kelamaan jadi menyusut dan mienya pun semakin membesar seperti cacing kekenyangan, ehehe.
Setelah usiaku menginjak 7 tahun aku masuk di sebuah madrasah swasta dekat dengan sekolah lamaku. Di sana aku tak menemui banyak teman dekat, sebab aku tak begitu pandai bergaul, hanya ikut-ikut saja ke mana arah teman-temanku pergi tanpa bergandengan tangan dengan seorang karib. Suatu hari aku pulang sekolah bertemu lelaki bertubuh berisi dan lebih tinggi dariku berlarian di kebun seperti mengejar sesuatu. Kupandangi dia dari jauh, semakin dekat mengarah ke arahku berdiri. Ternyata, dia mengejar capung dong ahaha kekanakan sekali. Yahhh namanya juga masih anak-anak wajar sih. Tiba-tiba saja dia berkata bahwa capung itu akan diberikannya pada adiknya sebab adiknya gampang sekali mengompol, ibu bilang kalo masih mengompol dicarikan capung kemudian ditempelkan di udel supaya ssmbuh ngompolnya, lhah padahal ngompol bukanlah sebuah penyakit, hanya saja masih perlu waktu untuk mebiasakan diri pipis ke tempat yang tepat saja.
Dari pertemuan itulah aku berteman dengannya, ternyata dia tetangga tak jauh dari rumahku. Dia baik dan banyak bicara, darinya pula aku belajar cerewet dan bisa bergaul dengan orang lain.
Komentar
Posting Komentar