Postingan

Gambar
           Aku diperdaya duka yang mampir tiba-tiba. Kedatangannya yang malang membawa kabar muram, tentang seorang gadis nestapa yang hendak meraih percaya pada makhluk lain berjenggot tipis berhati romantis, "Tuan Muda" namanya. Lelaki berdarah jawa yang lahir dari keluarga sederhana di pinggiran desa pelosok negeri. Tuan Muda yang berparas antik dikelilingi banyak pengusik, termasuk gadis nestapa yang mengaguminya entah sebab ada apanya. Tanpa sengaja dan tanpa rencana keduanya tiba-tiba saling sapa, saling cerita, dan saling mengadukan hari-harinya yang sulit.      Hingga pada suatu ketika, guratan ragu dan ajukan tanda tanya pada diri Sang Gadis semakin menjadi-jadi. Ia berbelas pada dirinya sendiri, sebab terlalu bodoh dalam menilai orang. Sebab terlalu gampang memersilakan masuk lelaki yang membuatnya jatuh tanpa koreksi. Tuan Muda memang terlihat tak percaya diri, ia datang suguhkan kelapangan tanpa berpikir panjang ke depan. Akan diapakan hari ini dan hari esok yang

Hidup Mampir Iba

Gambar
Ternyata memeluk diri sendiri tidak semudah itu. Ternyata membiarkan semua luka dan kesepian yang awalnya terasa biasa mendadak menyesakkan.  Semakin lama rasanya menyesakkan. Memeluk diri sendiri penuh harap, sedangkan butuh dekapan yang lebih hangat.  Aku membiarkan diriku sendiri runtuh dan berantakan.  Berbelas kasih pada cerita orang, sedangkan pada diri sendiri saja tak acuh.  Aku mengasihi diriku sendiri yang kesulitan membawa masuk orang lain masuk ke duniaku.  Yang berusaha memahami serta membantuku. Sebab aku sudah terlalu muak bercerita dari awal, dari mana lagi? Aku menelan perkataan banyak orang itu dengan menerima, tanpa pamrih, tanpa penyesalan. Padahal aku butuh juga demikian. Didengarkan, bukan hanya sebatas penasaran atau menghabiskan waktu luang. Aku pernah ingin bercerita namun dibiarkan bermonolog tanpa balasan.  Aku sudah cukup muak Tuhan.  Apa harus, apa harus aku? Kenapa selalu?  Kenapa selama ini?  Kenapa sendiri?  Kenapa harus aku yang sendiri terbaring tak be

Sampai Jumpa di Pemberhentian Rindu Selanjutnya

Gambar
Tak perlu balas budi.  Aku sudah dengan senang hati mengikhlaskan jarak yang mulai merenggang serta perasaan yang hampir memudar.  Syukurku pada Tuhan sebab Dia yang datangkan lalu Dia pula yang pulihkan.  Sudah cukup perasaan sabar itu menemani siangku yang sibuk serta malamku yang sempit.  Tak ada waktu lain yang lebih senggang dari yang disenggangkan.  Waktu tidur malam ini kupotong sedikit untuk menikmati indahnya ibadah keheningan yang semakin hening.  Kulompati jam dari sepuluh, sebelas, hingga dua belas dengan perasaan asing bernanar.  Dengan perasaan kesal dan kasian.  Aku merasa aneh.  Merasa melupakan kenormalan seorang manusia sesaat.  Ada perasaan sesak dan air mata yang tertahan di tenggorokan.  Mataku sudah sayu tak tertahankan.  Kulipat lagi ingatan lalu dan kukembalikan  pada ruang kenang yang terkunci rapat.  Sampai jumpa di pemberhentian rindu selanjutnya. 

Bapak Lagi

Gambar
Bapak, kenapa hidup ini susah dimakna?  Aku harus apa untuk menjadi selayaknya manusia?  Bapak..  Anakmu sudah bertambah usia, begitupun denganmu.  Apakah takdir masih kekeuh untuk membuatku bingung dengan jalan hidup yang telah diatur?  Ataukah takdir sedang bercengkrama dengan  Tuhan, menertawakan sikapku yang diambang kepalsuan.  Bapak,  Andaikan waktuku terjerat kepingan fana dan aku tak mampu lepas darinya, apakah takdir tetap sama saja?  Ataukah ini yang ditakdirkan untukku?  Bapak,  Anakmu sudah pasrah, jika takdir tak dirasa cukup untuk dipertahankan, jika impian tak lagi diagungkan, aku akan tetap seperti ini saja.  Tetap bertahan seraya mengeluh tanpa pernah tau alasan akan perasaan keluh yang semakin hari semakin yasudahlah...  Bapak,  Semoga kelak aku masih bisa menemuimu dengan kedua mata anakku.  Masih bisa bercengkrama dan membicarakan esok akan ke mana.  Membicarakan tentang pohon rambutan tetangga yang menimbulkan prasangka serta perasaan kesal.  Meskipun

Bapak Si Silent Treatment

Gambar
Rindu masa di mana tiap malam ketiduran di depan TV, digendong Bapak dipindah ke kamar tidur. Kalau enggak dibawain bantal terus diselimutin.  Rindu dibonceng Bapak tiap berangkat dan pulang sekolah. Apalagi pas hujan selalu pakek mantel kelelawar yang ngumpet di balik punggung Bapak.  Rindu banget masa sekolah yang enggak mikir besok harus kerja, harus nabung, harus buat orang tua bahagia, nyari jodoh biar rumah bisa nambah personil.  Karena jadi anak tunggal yang love language -nya silent treatment itu sepi banget.  Kita enggak pernah tau gimana susah dan ribetnya Emak Bapak waktu enggak ada duit buat bayar listrik, enggak tau susahnya mereka harus bayar cicilan dan terpaksa nunggak karena enggak punya tabungan.  Bapak adalah orang baik yang selalu siap bantu orang lain sebisa dia bantu. Bahkan, hal besar yang dianggap berharga pun dianggap remeh sama Bapak. Semudah itu dikasih ke orang lain. Kata Bapak " Pokok e adewe niate nandur apik, mbuh kui tandurane bakal tuk

Kasih yang Pulang

Gambar
Ada yang salah dengan ratapan burung pelatuk sore itu.  Ia berusaha bangkit dari tangisnya yang sempit,  yang menderu sampai ke ujung dahan.  Kasihnya pulang,  ia pun tak lagi punya rumah untuk pulang,  untuk bercakap apalagi bersenda.  Rupanya, beberapa ucapan yang keluar tanpa permisi itu menancap betul pada hati sang kasih.  Ia baru sadar,  Mungkinkah iya, atau tidak?  Sang kasih sudah lebih dahulu menyerah,  Ia pun pasrah tanpa arah.  Ia kangen, kangen... Sekali  sampai ingatannya saja membuatnya bahagia sementara.  Tapi, hidup harus terus berjalan bukan?  "Kasihku hanya sedang pulang, tidak untuk pergi" begitu ucapnya pasrah.

Jalan Masing-Masing

Gambar
Inginku menuliskanmu dalam lembaran kenang berbatas luka.  Sembari asyik menyulam sabar  di depan teras penantian yang tak lekas pulang.  Sambil luka, sambil terbiasa,  dan kembali biasa.  Langkahmu tak pernah sampai di sini.  Hanya perasaan bersalah  yang menyalipmu masuk kemari.  Tentu bukan salah siapapun,  bukan pula ingin siapapun.  Lagipula, keputusan itu sudah benar.  Sudah terwujud dan diwujudkan.  Tak apa lagi,  harus saling terima lagi.  Jalan masing-masing lagi.  Dan kepada Si Jelita  Kasihku padamu atas prihatin, belas kasih, serta ucap manis yang meneduhkan.  Kucukupkan resah luka yang menderu itu bersama angan yang bukan lagi milikku.  Mari, kembali menjamu temu dengan perasaan bebas dan tuntas.